Love begins with me

Kindly support and empower albinism community in Indonesia

Should you feel moved to assist our albinism community,we would really appreciate it Bank BCA account no : 6130098876 Thank you for your benevolence and generosity God bless you more

Wednesday, April 30, 2014

Bali Promotion Center: HOMILI SRI PAUS FRANSISKUS SAAT MISA KANONISASI SA...

Bali Promotion Center: HOMILI SRI PAUS FRANSISKUS SAAT MISA KANONISASI SA...: HOMILI SRI PAUS FRANSISKUS SAAT MISA KANONISASI SANTO YOHANES XXIII DAN SANTO YOHANES PAULUS II tanggal 27 April 2014 di St Peter’s Square...

Translated in Indonesian from 
CANONIZATION OF BLESSEDS JOHN XXIII AND JOHN PAUL II  
Divine Mercy Sunday, 27 April 2014

Saint Peter's Square, at 10:00
Holy Mass


Acara Puncak hari
Minggu ini, yang mengakhiri Oktaf Paskah dan yang Yohanes Paulus II ingin dedikasikan  bagi Kerahiman Ilahi, ialah  bilur bilur  Mulia  dari Tuhan Yesus yang telah bangkit.
 Tuhan sudah menunjukkan
bilur bilur tersebut ketika Ia pertama kali menampakkan diri kepada para Rasul
saat  larut malam hari setelah Hari Sabbath
 itu, hari kebangkitan. Namun Thomas
tidak berada di sana malam itu, dan ketika para rasul lain mengatakan kepadanya
bahwa mereka telah melihat Tuhan, ia menjawab bahwa jika ia sendiri tidak melihat
dan menyentuh bilur bilur itu, ia tidak akan percaya. Seminggu kemudian, Tuhan Yesus
menampakkan diri sekali lagi kepada para muridnya yang sedang berkumpul di
Ruangan Atas(Upper Room)  dan Thomas hadir
saat itu ; Tuhan Yesus berpaling kepadanya dan menyuruhnya untuk menyentuh bilur
bilurNya. Kemudian pria itu, yang begitu terus terang (blak-blakandan terbiasa menguji segala sesuatunya secara
pribadi, berlutut di hadapan Tuhan Yesus seraya berkata : "Ya Tuhanku dan
Allahku!" (Yohanes  20:28).

Bilur bilur Tuhan Yesus
merupakan suatu kejutan yang menghebohkan, batu sandungan bagi iman, akan
tetapi mereka juga merupakan ujian bagi iman. Itulah sebabnya  di atas tubuh Kristus yang telah bangkit bilur
bilur tersebut tak pernah hilang : tetap ada, karena bilur bilur tersebut
merupakan tanda kasih Allah yang abadi bagi kita. Bilur bilur tersebut sangatlah
penting untuk percaya pada Allah. Bukan hanya untuk percaya bahwa Allah itu
ada, tetapi agar kita percaya bahwa Allah adalah kasih, kerahiman dan
kesetiaan. Santo Petrus, mengutip Yesaya, saat menulis kepada para umat  Kristiani : "oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh" (1 Petrus 2:24, cf  Yes 53:5).


Santo Yohanes XXIII dan Santo Yohanes Paulus II tidak takut memandang bilur bilur TuhanYesus, menyentuh tangan-Nya yang terkoyak maupun lambung-Nya yang tertikam. Mereka tidak malu akan tubuh Kristus, mereka tidak dibuat terkejut  oleh-Nya, oleh salib-Nya; mereka tidak memandang rendah tubuh saudara mereka (bdk. Yes 58:7), karena mereka melihat Tuhan Yesus dalam setiap orang yang mengalami penderitaan dan perjuangan. Mereka inilah dua pria pemberani, yang dipenuhi dengan perkataan berani yang berasal dari Roh Kudus, dan mereka menjadi saksi di hadapan Gereja dan dunia bagi kebaikan dan kerahiman Allah.
Mereka merupakan  para imam,uskup dan Paus abad kedua puluh. Mereka hidup melewati berbagai peristiwa tragis pada abad itu, tetapi mereka tidak terpuruk dengan berbagai peristiwa tersebut. Bagi mereka, Allah lebih kuat; iman lebih kuat - iman kepada Tuhan Yesus Kristus Sang Penebus manusia dan Tuhan sejarah; kerahiman Allah, yang ditunjukkan oleh lima luka itu, lebih kuat; dan lebih kuat juga ialah kedekatan Maria Bunda kita.


Dalam kedua pria ini, yang memandang bilur bilur Kristus dan menjadi saksi kerahiman-Nya, di sana  ada harapan yang hidup dan sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan (1Petrus 1:3,8). Harapan dan sukacita yang dilimpahkan Kristus yang telah bangkit kepada murid-murid-Nya, harapan dan sukacita yang tak ada sesuatu  maupun seorang pun yang bisa mengambilnya dari  mereka. Harapan dan sukacita Paskah, yang ditempa dalam bentuk penyangkalan diri, pengosongan diri, menitahkan pengenalan bersama para orang berdosa, bahkan hingga titik kemuakkan pada kepahitan cawan itu. Demikianlah harapan dan sukacita yang telah diterima Kedua Sri Paus Suci ini sebagai sebuah karunia Tuhan yang telah  bangkit dan yang pada gilirannya mereka curahkan dalam kelimpahan atas Umat Allah, sehingga kita merasa pantas memiliki rasa syukur kita yang abadi
Harapan  dan sukacita ini dapat dirasakan dalam kalangan komunitaspara orang percaya  mula mula , di Yerusalem, seperti yang kita baca dalam Kisah Para Rasul (bdk. 2:42-47). Ini merupakan suatu komunitas yang menghayati ajaran inti Injil, kasih dan kerahiman, dalam kesederhanaan serta  persaudaraan.
Hal ini juga merupakan gambaran Gereja yang ditetapkan Konsili Vatikan II sebelum kita. Santo Yohanes XXIII dan Santo Yohanes Paulus II telah bekerja sama dengan Roh Kudus dalam memperbaharui  dan menyesuaikan  Gereja sesuai karateristik  aslinya, Karateristik itu yang telah diberikan para orang kudus kepada Gereja selama berabad-abad. Janganlah kita lupa bahwa para orang kudus tersebut yang memberikan arah dan pertumbuhan bagi Gereja. Dengan mengadakan  Konsili, Santo Yohanes XXIII menunjukkan sebuah keterbukaan yang sangat indah terhadap Roh Kudus. Beliau membiarkan dirinya dipimpin dan beliau bagi Gereja merupakan seorang gembala, seorang pemimpin-pelayan. Hal Ini merupakan pelayanannya yang agung bagi Gereja; beliau ialah Paus  yang terbuka dengan Roh Kudus.
Dalam pelayanan dirinya bagi Umat Allah, Santo Yohanes Paulus II merupakan  Paus keluarga. Beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ia ingin dikenang sebagai Paus keluarga. Saya sangat senang menunjukkan hal ini ketika kita berada dalam proses perjalanan bersama keluarga-keluarga menuju Sinode tentang keluarga. Hal ini tentu sebuah perjalanan yang, dari tempatnya di surga, beliau membimbing dan menopang.
Semoga kedua Santo baru dan para gembala umat Allah ini bersyafaat bagi Gereja, sehingga selama dua tahun perjalanan menuju Sinode ini Gereja boleh terbuka terhadap Roh Kudus dalam pelayanan pastoral kepada keluarga. Semoga kiranya keduanya mengajarkan kita agar tidak terkejut dengan bilur bilur Kristus dan malah membuat kita masuk semakin dalam pada misteri kerahiman ilahi, yang senantiasa  berharap, dan  senantiasa mengampuni, karena hal tersebut selalu mengasihi

Divine Mercy Sunday, 27 April 2014

Saint Peter's Square, at 10:00
Holy Mass


HEILIGE MESSE UND HEILIGSPRECHUNG DER SELIGEN PÄPSTE JOHANNES XXIII. UND JOHANNES PAUL II.
PREDIGT VON PAPST FRANZISKUS
Petersplatz
2. Sonntag in der Osterzeit (oder Sonntag der göttlichen Barmherzigkeit),
27. April 2014
  
Im Mittelpunkt dieses Sonntags, der die Osteroktav beschließt und den der heilige Johannes Paul II. der Göttlichen Barmherzigkeit geweiht hat, stehendie glorreichen Wunden des auferstandenen Jesus.
Schon beim ersten Mal, als Jesus am Abend des Tages nach dem Sabbat, am Tag der Auferstehung, den Aposteln erschien, zeigte er ihnen seine Wunden. An jenem Abend war aber Thomas, wie wir gehört haben, nicht dabei. Und als die anderen ihm sagten, dass sie den Herrn gesehen hatten, antwortete er, er werde nicht glauben, bevor er jene Wunden nicht gesehen und berührt habe. Acht Tage darauf erschien Jesus erneut im Abendmahlssaal inmitten der Jünger, und auch Thomas war da. Jesus wandte sich an ihn und forderte ihn auf, seine Wunden zu berühren. Und da kniete dieser ehrliche Mann, der daran gewöhnt war, alles selbst zu überprüfen, vor Jesus nieder und sagte: »Mein Herr und mein Gott!« (Joh 20,28).
Die Wunden Jesu sind ein Ärgernis für den Glauben, aber sie sind auch einNachweis für den Glauben. Darum verschwinden die Wunden am Leib des auferstandenen Christus nicht; sie bleiben, denn diese Wunden sind das ständige Zeichen der Liebe Gottes zu uns, und sie sind unerlässlich für den Glauben an Gott. Nicht um zu glauben, dass Gott existiert, sondern um zu glauben, dass Gott Liebe, Barmherzigkeit und Treue ist. Der heilige Petrus nimmt die Worte des Propheten Jesaja auf und schreibt an die Christen: »Durch seine Wunden seid ihr geheilt« (1 Petr 2,24; vgl. Jes 53,5).
Der heiligeJohannes XXIII. und der heilige Johannes Paul II. hatten den Mut, die Wundmale Jesu anzuschauen, seine verwundeten Hände und seine durchbohrte Seite zu berühren. Sie haben sich der Leiblichkeit Christi nicht geschämt, haben an ihm, an seinem Kreuz keinen Anstoß genommen; sie haben die Leiblichkeit des Mitmenschen nicht gescheut (vgl. Jes 58,7), denn in jedem leidenden Menschen sahen sie Jesus. Sie waren zwei mutige Männer, erfüllt vom Freimut des Heiligen Geistes, und haben der Kirche und der Welt Zeugnis gegeben von der Güte Gottes und von seiner Barmherzigkeit.
Sie waren Priester und Bischöfe und Päpste des 20. Jahrhunderts. Dessen Tragödien haben sie erfahren, sind davon aber nicht überwältigt worden. Stärker war in ihnen Gott; stärker war der Glaube an Jesus Christus, den Erlöser des Menschen und Herrn der Geschichte; stärker war in ihnen die Barmherzigkeit Gottes, die sich in diesen fünf Wunden offenbart; stärker war die mütterliche Liebe Marias.
In diesen beiden Männern, die in der Betrachtung der Wunden Christi lebten und Zeugen seiner Barmherzigkeit waren, wohnte »eine lebendige Hoffnung« vereint mit »unsagbarer, von himmlischer Herrlichkeit verklärter Freude« (1 Petr 1,3.8) – die Hoffnung und die Freude, die der auferstandene Christus seinen Jüngern schenkt und die nichts und niemand ihnen nehmen kann. Die österliche Hoffnung und die österliche Freude, die den Schmelztiegel der Entäußerung und der inneren Leere, der Nähe zu den Sündern bis zum Letzten, bis zum Überdruss angesichts der Bitterkeit dieses Kelches durchschritten haben: Das sind die Hoffnung und die Freude, mit denen die beiden heiligen Päpste vom auferstandenen Herrn beschenkt wurden und die sie ihrerseits in Fülle an das Volk Gottes verschenkt haben, wofür sie ewigen Dank empfangen.
Diese Hoffnung und diese Freude bildeten das Klima, in dem die Urgemeinde der Gläubigen in Jerusalem lebte, von der uns die Apostelgeschichte berichtet, die wir in der zweiten Lesung gehört haben (vgl. 2,42-47). Es ist eine Gemeinde, in der das Wesentliche des Evangeliums gelebt wird, nämlich die Liebe und die Barmherzigkeit in Einfachheit und Brüderlichkeit.
Und das ist das Bild der Kirche, das dem Zweiten Vatikanischen Konzil vorschwebte. Johannes XXIII. und Johannes Paul II. haben mit dem Heiligen Geist zusammengearbeitet, um die Kirche entsprechend ihrer ursprünglichen Gestalt wiederherzustellen und zu aktualisieren, entsprechend der Gestalt, die ihr im Laufe der Jahrhunderte die Heiligen verliehen haben. Vergessen wir nicht, dass es gerade die Heiligen sind, die die Kirche voranbringen und wachsen lassen. In der Einberufung des Konzils hat der heilige Johannes XXIII. eine feinfühlige Folgsamkeit gegenüber dem Heiligen Geist bewiesen, hat sich führen lassen und war für die Kirche ein Hirte, ein geführter Führer, geführt vom Heiligen Geist. Das war sein großer Dienst an der Kirche; darum denke ich gerne an ihn als den Papst der Folgsamkeit gegenüber dem Heiligen Geist.
In diesem Dienst am Volk Gottes ist der heilige Johannes Paul II. der Papst der Familie gewesen. So wollte er, wie er einmal sagte, in die Erinnerung eingehen: als Papst der Familie. Ich hebe das gerne hervor, da wir gerade einen Weg zur Synode über die Familie und mit den Familien beschreiten, den er vom Himmel her sicher begleitet und unterstützt.
Mögen diese beiden neuen heiligen Hirten des Gottesvolkes mit ihrer Fürsprache für die Kirche eintreten, damit sie in diesen zwei Jahren des Synodenweges fügsam sei gegenüber dem Heiligen Geist in ihrem pastoralen Dienst an der Familie. Mögen beide uns lehren, keinen Anstoß zu nehmen an den Wunden Christi und in das Geheimnis der göttlichen Barmherzigkeit einzudringen, die immer hofft und immer verzeiht, weil sie immer liebt.



S. Ioannes Paulus PP. II
Karol Wojtyla
16.X.1978 - 2.IV.2005

 

"Eternal Father, I
offer to you the Body and Blood, Soul and Divinity of your beloved Son, our
Lord Jesus Christ, for our sins and those of the whole world; by the sufferings
of his Passion, have mercy upon us and upon the whole world" (Diary, 476).
Upon us and upon the whole world ... How greatly today’s world needs God’s
mercy! In every continent, from the depth of human suffering, a cry for mercy
seems to rise up. Where hatred and the thirst for revenge dominate, where war
brings suffering and death to the innocent, there the grace of mercy is needed
in order to settle human minds and hearts and to bring about peace. Wherever
respect for life and human dignity are lacking, there is need of God’s merciful
love, in whose light we see the inexpressible value of every human being. Mercy
is needed in order to ensure that every injustice in the world will come to an
end in the splendor of truth.

“`Bapa yang kekal, kupersembahkan kepada-Mu Tubuh dan Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an PutraMu yang terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, sebagai pemulihan dosa-dosa kami dan dosa seluruh dunia; demi sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasih-Mu kepada kami dan seluruh dunia' (Buku Catatan Harian, 476). Kepada kami dan seluruh dunia…. Betapa dunia sekarang ini membutuhkan Kerahiman Ilahi! Di setiap benua, dari penderitaan manusia yang terdalam, terdengar seruan mohon belas kasih Allah. Di mana kebencian dan hasrat dendam berkuasa, di mana perang mengakibatkan sengsara dan kematian orang-orang tak berdosa, di sana rahmat belas kasih dibutuhkan demi menenangkan hati dan pikiran manusia serta mendatangkan damai. Di mana tidak ada lagi rasa hormat terhadap harkat dan martabat manusia, di sana cinta Allah yang berbelas kasih dibutuhkan; dalam terang-Nya kita melihat nilai setiap pribadi manusia yang mudah terpengaruh. Belas kasih dibutuhkan guna menjamin bahwa setiap ketidakadilan di dunia akan berakhir dalam terang kebenaran.